Yaitu:
aras sadar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta dan aras
keberadaban manusia.
Aras keberadaban manusia implementasinya dalam ujud budi
pekerti luhur. Maka di dalam Falsafah Ajaran Hidup Jawa ada ajaran keutamaan
hidup yang diistilahkan dalam bahasa Jawa sebagai piwulang (wewarah) kautaman.
Secara alamiah manusia sudah terbekali kemampuan untuk membedakan
perbuatan benar dan salah serta perbuatan baik dan buruk. Maka peranan Piwulang
Kautaman adalah upaya pembelajaran untuk mempertajam kemampuan tersebut serta
mengajarkan kepada manusia untuk selalu memilih perbuatan yang benar dan baik
menjauhi yang salah dan buruk.
Namun demikian, pemilihan yang benar dan baik saja tidaklah cukup untuk
memandu setiap individu dalam berintegrasi dalam kehidupan bersama atau
bermasyarakat.
Oleh karena itu, dalam Piwulang Kautaman juga
diajarkan pengenalan budi luhur dan budi asor dimana
Misalnya :
tepa selira dan mulat sarira, mikul dhuwur mendhem jero, dan
alon-alon waton kelakon.
Filosofi yang ada dibalik kalimat sesanti atau unen-unen tersebut tidak
cukup sekedar dipahami dengan menterjemahkan makna kata-kata dalam kalimat
tersebut.
Oleh karena itu sering terjadi ”salah mengerti” dari para pihak yang
bukan Jawa. Juga oleh kebanyakan orang Jawa sendiri. Akibatnya ada anggapan
bahwa sesanti dan unen-unen Jawa sebagai anti-logis atau dianggap bertentangan
dengan logika umum. Akibat selanjutnya berupa kemalasan orang Jawa sendiri
untuk mendalami makna sesanti dan unen-unen yang ada pada khasanah budaya dan
peradabannya.
Namun kemudian, sesanti dan unen-unen tersebut dijadikan olok-olok
dalam kehidupan masyarakat.
Mulat sarira dan tepa selira diartikan bahwa
Jawa sangat toleran dengan perbuatan KKN yang dilakukan kerabat dan
golongannya.
pilihan manusia hendaknya kepada budi luhur. Dengan demikian setiap
individu atau person menjadi terpandu untuk selalu menjalani hidup
bermasyarakat secara benar, baik dan pener (tepat, pas).
Cukup banyak piwulang kautaman dalam ajaran hidup cara Jawa. Ada yang
berupa tembang-tembang sebagaimana Wulangreh, Wedhatama, Tripama, dll. Ada pula
yang berupa sesanti atau unen-unen yang mengandung pengertian luas dan mendalam
tentang makna budi luhur.
Mikul dhuwur mendhem jero
dimaknai untuk tidak mengadili orangtua dan pemimpin yang bersalah.
Alon-alon waton kelakon dianggap mengajarkan kemalasan.
Padahal ajaran sesungguhnya dari sesanti dan
unen-unen tersebut adalah pembekalan watak bagi setiap individu untuk hidup
bersama atau bermasyarakat. Tujuan utamanya adalah terbangunnya kehidupan
bersama yang rukun, dami dan sejahtera. Bukan sebagai dalil pembenar perbuatan
salah, buruk dan tergolong budi asor. Makna dari mulat sarira dan tepa selira
adalah untuk selalu mengoperasionalkan rasa pangrasa dalam bergaul dengan orang
lain.Mulat sarira,
mengajarkan untuk selalu instropeksi akan diri sendiri.”Aku ini apa? Aku ini siapa? Aku ini akan kemana? Aku ini mengapa ada?” Kesadaran untuk selalu instropeksi pada diri sendiri akan melahirkan watak tepa selira, berempati secara terus menerus kepada sesama umat manusia. Kebebasan individu akan berakhir ketika individu yang lain juga berkehendak atau merasa bebas. Maka pemahaman mulat sarira dan tepa selira merupakan bekal kepada setiap individu yang mencitakan kebebasan dalam hidup bersama-sama, bukan ?
Mikul dhuwur mendhem jero, meskipun dimaksudkan untuk selalu menghormat
kepada orangtua dan pemimpin, namun tidak membutakan diri untuk menilai
perbuatan orangtua dan pemimpin. Karena yang tua dan pemimpin juga memiliki
kewajiban yang sama untuk selalu melakukan perbuatan yang benar, baik dan
pener. Justru yang tua dan pemimpin dituntut ”lebih” dalam mengaktualisasikan
budi pekerti luhur. Orangtua yang tidak memiliki budi luhur disebut tuwa tuwas
lir sepah samun. Orangtua yang tidak ada guna dan makna sehingga tidak pantas
ditauladani. Pemimpin yang tidak memiliki budi luhur juga bukan pemimpin.
Alon-alon waton kelakon, bukan ajaran untuk bermalas-malasan. Namun
merupakan ajaran untuk selalu mengoperasionalkan watak sabar, setia kepada
cita-cita sambil menyadari akan kapasitas diri.
Contoh yang mudah dipahami ada dalam dunia pendidikan tinggi.
Normatif setiap mahasiswa untuk bisa menyelesaikan kuliah Strata I
dibutuhkan waktu 8 semester. Namun kapasitas setiap mahasiswa tidaklah sama.
Hanya sedikit yang memiliki kemampuan untuk selesai kuliah 8 semester tersebut.
Sedikit pula yang prestasinya cum-laude dan memuaskan. Rata-rata biasa dan
selesai kuliah lebih dari 8 semester. Dengan mengoperasionalkan ajaran
alon-alon waton kelakon, maka mahasiswa yang kapasitas kemampuannya biasa-biasa
akan selesai kuliah juga meskipun melebihi target waktu 8 semester.
Makna positifnya mengajarkan kesabaran dan tidak putus asa ketika
dirinya tidak bisa seperti yang lain. Landasan falsafahnya, hidup bukanlah
kompetisi tetapi lebih mengutamakan kebersamaan.
Banyak pula kita ketemukan Piwulang Kautaman yang berupa nasehat atau
pitutur yang jelas paparannya.
Sebagai contoh adalah sebagai berikut :
“Ing samubarang gawe aja sok wani mesthekake, awit akeh lelakon kang
akeh banget sambekalane sing ora bisa dinuga tumibane. Jer kaya unine pepenget,
“menawa manungsa iku pancen wajib ihtiyar, nanging pepesthene dumunung ing
astane Pangeran Kang Maha Wikan”.
Mula ora samesthine yen manungsa iku nyumurupi bab-bab sing durung
kelakon. Saupama nyumurupana, prayoga aja diblakakake wong liya, awit temahane
mung bakal murihake bilahi.
Terjemahannya:
“Dalam setiap perbuatan hendaknya jangan sok berani memastikan, sebab
banyak sambekala (halangan) yang tidak bisa diramal datangnya pada “perjalanan
hidup” (lelakon) manusia.
Sebagaimana disebut dalam kalimat peringatan “bahwa manusia itu memang
wajib berihtiar, namun kepastian berada pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Mengetahui”.
Maka sesungguhnya manusia itu tidak semestinya mengetahui sesuatu yang
belum terjadi. Seandainya mengetahui (kejadian yang akan datang), kurang baik
kalau diberitahukan kepada orang lain, karena akan mendatangkan bencana
(bilahi).”
Piwulang Kautaman memiliki aras kuat pada
kesadaran ber-Tuhan. Maka sebagaimana pitutur diatas, ditabukan mencampuri “hak
prerogatif Tuhan” dalam menentukan dan memastikan kejadian yang belum terjadi.
DenBagus Ahmad Djazuli javacommunity
0 komentar:
Posting Komentar